[ads-post]

Bisnis Hobby - Hikmat Kurnia mengawali bisnisnya pada 2001 dengan mempekerjakan seorang office boy. Kini, 15 tahun kemudian, 1.000 lebih karyawan bergabung dengannya. Perusahaan penerbitannya, Agromedia Group, yang semula hanya melahirkan buku-buku pertanian, sekarang sudah masuk ke semua segmen.

Penulis terkenal, seperti Moammar Emka dan Raditya Dika lahir dari perusahaan penerbitan tersebut. Kini, Agromedia Group menaungi setidaknya 14 penerbitan, bahkan telah merambah bisnis lainnya, mulai dari distributor buku, percetakan, properti, teknologi dan informasi (TI), hingga otomotif.
Tentu saja bisnis tidak selalu berjalan mulus. Pun dengan bisnis yang dilakoni pria kelahiran Bandung 23 September 1967 itu. Menutup perusahaan pernah dilakukannya. Namun, itu dianggapnya sebagai hal biasa. Baginya, menjadi wirausaha di bidang apa pun, yang paling esensial adalah urusan mental.
“Dalam berbisnis, mental itu yang utama. Kita boleh seribu kali jatuh, tapi kita juga harus seribu kali bangkit. Di situlah esensi berbisnis. Hampir tidak ada bisnis yang omzetnya naik terus. Suatu saat pasti turun. Saat turun itulah kita sedang diuji, seberapa kuat kita punya daya tahan,” ujar Hikmat Kurnia di Jakarta, baru-baru ini.
Apa kiat Hikmat agar bisnisnya tidak jatuh lagi di lubang yang sama? Bagaimana strateginya agar bisnis penerbitan buku yang digelutinya tetap eksis di tengah gempuran digitalisasi? Berikut wawancara dengannya.

Bagaimana awal mula Anda terjun ke industri penerbitan buku?
Awalnya karena ada satu impian bahwa kita harus naik derajat dan harus berkontribusi lebih banyak untuk masyarakat. Sebelumnya, saya memang bekerja di industri buku. Sebagai karyawan, ada keterbatasan dari sisi kreativitas dalam mengembangkan usaha tersebut. Atas dasar itu, saya punya impian ingin menjadi wirausaha.

Saya merasa punya modal cukup. Modal itu bukan dalam pengertian uang, tapi karena sudah sembilan tahun bekerja, sehingga punya keahlian, konsep, jaringan, dan kompetensi memadai untuk mengurus buku. Dan, yang terpenting, saya memiliki nama baik di bidang tersebut. Katanya, kalau mau memulai usaha dan berhasil harus dari hobi, keahlian, dan pengalaman.Nah, saya punya keahlian, pengalaman, dan punya hobi di industri buku. Jadi, tidak merasa aneh kalau saya masih lari ke industri buku.

Waktu itu sudah ada pemain besar, Anda tidak takut kalah?
Benar, penerbit buku umum saat itu sudah banyak dan pemainnya besar-besar. Karena itu, waktu pertama saya terjun ke bisnis tersebut, yang saya garap adalah buku pertanian. Pada 2001, saya berpikir buku pertanian pemainnya sedikit. Supaya bisa masuk sebagai pemain yang baik, saya tentu harus melihat ceruk pasar tertentu dan saya melihat ceruk pasar buku pertanian cukup terbuka karena pemain yang besar hanya dua.

Dalam pandangan saya, pemain yang satu cukup tua, sehingga cenderung lambat, yang satu cukup gemuk sehingga tidak agresif. Padahal, saat itu kebutuhan informasi pertanian berkembang cukup baik, hanya saja para penerbit tidak cepat mengantisipasi kebutuhan pembaca. Misalnya, ada tren pertanian yang terjadi saat ini, tapi bukunya baru terbit 3-4 bulan kemudian.
Atas dasar itu, saya mengubah konsepnya, bagaimana agar tren atau isu tertentu dijawab oleh buku, sehingga masyarakat tidak perlu bertanya ke mana-mana karena ada jawaban di buku itu. Caranya, saya ciptakan sistem reportase, memadukan kerja jurnalistik dengan kerja penerbitan buku, sehingga ketika ada isu atau tren baru, maka sebulan kemudian jawabannya sudah ada dalam buku.
Untuk cara ini memang harus dicari tenaga-tenaga muda untuk mampu menghadirkan buku-buku itu. Jika sebelumnya yang menulis pakar atau ahli yang belum tentu bisa menulis, mereka diwawancara dan hasilnya menjadi buku.
Cara seperti itu diterima pembaca?
Ya, dengan cara ini ternyata pembaca lebih suka buku saya karena mampu menjawab tren yang sedang terjadi. Bahkan, cara saya ini menjadi trendsetter karena telah mengubah pola industri buku. Buku pertanian menjadi seksi di mata pembaca. Cara ini pula yang membuat buku tanaman obat kala itu menjadi sangat digemari. Misalnya, buku tentang mahkota dewa. Kebetulan waktu itu setelah krisis, harga obat naik, berobat ke medis mahal, salah satu yang dicari adalah obat alternatif, di antaranya tanaman obat.

Saat itu, lahirlah buku-buku tentang tanaman obat. Pada periode 2000-2001, kami menjaditrendsetter. Kami, Agromedia, telah mengubah pola penerbitan. Secara nasional dengan cepatnya kami masuk lima besar pemain buku nasional dalam waktu kurang dua tahun. Bahkan pada 2003 kami masuk lima besar penerbit buku umum. Kami dengan cepat mengubah kondisi itu dan sekarang kami masuk tiga besar.

Pernahkah Anda di posisi terbawah hingga merasa putus asa saat menjalani bisnis?
Bisnis pasti ada dinamikanya. Apa pun bisnis itu, kita harus siap menghadapi kondisi seburuk apa pun. Esensi bisnis adalah ketidakpastian, sehingga kita harus siap menghadapi risiko. Karena itu, secara teoretis hanya orang yang risk taker yang disarankan masuk ke dunia usaha. Orang yang cenderung tidak mau menghadapi masalah sebaiknya tidak masuk ke dunia usaha. Tugas kita hanyalah bagaimana mengakrabi ketidakpastian itu.

Kalau ditanya apakah pernah bangkrut? Pernah. Buku yang kami terbitkan tidak laku, juga sering. Pernah tidak menutup suatu perusahaan? Tentu pernah. Orang yang tidak pernah memanjat tidak akan pernah jatuh. Kalau pernah memanjat, pasti pernah jatuh.
Menjadi wirausaha, apa pun bidangnya harus siap jatuh karena nilai bisnis yang paling esensial adalah urusan mental. Kalau kita tidak siap jatuh maka kita tidak siap bangkit. Boleh seribu kali jatuh maka harus seribu kali bangkit. Jadi, harus tetap bangkit karena di situlah esensi berbisnis. Hampir tidak ada bisnis yang omzetnya terus naik, suatu saat pasti turun. Saat turun itulah kita diuji, seberapa banyak daya tahan yang kita punya.
Strategi Anda agar tidak jatuh di lubang yang sama?
Harus mempersiapkan diri dengan baik. Ketika membuat bisnis, yang harus diperkuat adalah konsep. Konsep usaha harus jelas, tidak hanya masalah produk, pemasaran, dan modal, tapi juga sumber daya manusia (SDM) dan persaingan usaha. Kita harus paham dunia yang akan kita masuki agar bisa membuat skala usaha, keunggulan yang akan ditawarkan, karena bisnis itu muaranya adalah keuntungan.

Keuntungan bagi saya adalah kepintaran atas pengelolaan perusahaan dan kemampuan memuaskan pelanggan. Kalau tidak mau jatuh, dari awal harus membuat konsep yang baik. Masalahnya, sering kali seseorang tidak punya komitmen untuk menjalankan konsep itu, tidak memiliki keteguhan hati, tidak punya konsistensi, dan tidak mau belajar atas perubahan-perubahan yang terjadi.
Anda memiliki 1.000 lebih karyawan, gaya kepemimpinan Anda seperti apa?
Selama kita menghargai manusia sebagai manusia atau dengan pola memanusiakan manusia. Artinya hak-hak pekerja atau karyawan dihargai dan dianggap sebagai mitra, rasanya gejolak di sebuah perusahaan tidak akan muncul. Jangan menganggap karyawan itu sebagai alat produksi, sebaliknya harus menjadikan karyawan sebagai aset perusahaan.

Bahkan, di perusahaan kami, beberapa karyawan senior sudah menjadi pemilik saham Agromedia Group. Walaupun yang mendirikan Agromedia adalah saya dengan beberapa orang, saat ini salah satu pemiliknya adalah karyawan. Cara ini akan menjadikan karyawan memiliki perusahaan tersebut. Kalau kita mendirikan sebuah perusahaan, maka 20 persen modal didistribusikan kepada karyawan.
Di sisi lain, tujuan saya mendirikan perusahaan adalah memberi manfaat kepada banyak orang. Supaya hidup saya memberi manfaat, saya harus menciptakan banyak perusahaan. Semakin banyak perusahaan, semakin banyak orang yang bisa bekerja. Supaya tidak terjadi ketegangan, misalnya antara perusahaan dan karyawan maka harus diciptakan satu sistem atau budaya keterbukaan, salah satunya agar ide karyawan dihargai. Maka, terbukalah ruang diskusi, karyawan dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang sesuai kapasitasnya.
Dengan pola begitu, tidak ada karyawan di Agromedia yang memiliki hambatan untuk bertemu saya. Silakan berkirim email atau menelepon apabila punya permasalahan yang dianggap melanggar aturan. Di situlah ada keterbukaan dan kepercayaan antara pemilik perusahaan dan karyawannya. Kedua pihak saling memercayai bahwa perusahaan akan memberikan yang terbaik bagi karyawannya, karyawan akan memberi yang terbaik bagi perusahaannya, sehingga tercipta budaya perusahaan yang produktif.

Strategi Anda memajukan perusahaan?
Dalam industri penerbitan, buku itu harus tetap menjawab kebutuhan pembaca. Jadi, yang dijual dalam buku adalah informasi, informasi itu harus sampai kepada pembaca. Untuk itu, pembaca harus tertarik. Misalnya sekarang era media sosial, di mana informasi disebarkan secara gratis melalui Instagram, Twitter, atau Youtube.

Saat ini buku-buku berbasis Youtube laku sekali. Artinya, kami harus tetap memahami tren yang berkembang di masyarakat. Tidak mampu membawa tren di masyarakat, maka buku akan ditinggalkan. Memang ada buku-buku abadi, biasanya dengan tema-tema dasar. Tetapi untuk buku, tetap harus mengikuti tren. Buku harus memiliki enam keunggulan untuk menjadi best seller, yakni konten, kemasan, harga, penulis, promosi, dan distribusi. Enam faktor itu harus menjadi acuan setiap penerbit dan setiap penulis ketika menerbitkan buku.

Saat ini pasar buku terbuka lebar, tidak hanya toko buku, tapi juga internet marketing, e-book, pemerintah, juga komunitas. Karena itu, kami harus membuat varian pasar baru. Daripada menggeser posisi penerbit yang sudah ada, saya lebih memilih melebarkan pasar. Kami bangun toko-toko kecil yang menyebar dekat perumahan di kota-kota kecil dengan bendera Buka Buku Pustaka. Saat ini kan banyak buku yang sudah tidak laku di toko buku besar, tetapi masyarakat masih butuh, maka saya ciptakan saluran distribusi baru melalui cara itu.

Agromedia Group juga berekspansi ke bidang lain, apakah ini bagian dari strategi memajukan perusahaan?
Awalnya kami memang main di penerbitan buku, kemudian mendekat ke distributor buku, kemudian ke percetakan, ke properti, lalu ada bisnis TI dan otomotif. Saya koordinasikan dalam satu payung Agromedia Group, tetapi nama perusahaannya macam-macam dan pada tingkat perkembangannya ada penanggung jawab juga dari masing-masing unit.

Kami membuat sistem supaya bisnis bergerak secara langsung karena kami pasti punya keterbatasan waktu, tenaga, dan pengetahuan. Meski banyak bidang, core business kami tetap penerbitan. Dari sisi laba, kontribusi utama tetap penerbitan buku. Dari 1.000 karyawan saya, sekitar 70 persen juga ada di penerbitan buku, mulai dari segmen pertanian, remaja, pendukung pelajaran, agama, TI, anak, kewanitaan, gaya hidup, hukum, ekonomi, pengembangan diri, hampir semua segmen kami garap.

Apa obsesi Anda yang belum tercapai?
Setiap periode mimpi harus diperbarui. Ketika impian yang kita bangun sudah tercapai, maka kita harus memperbarui mimpi itu. Saya sendiri memiliki banyak mimpi. Untuk mimpi bisnis tingkat pertama, yaitu mempunyai perusahaan, sudah tercapai. Tapi kan hidup tidak hanya soal profit, tapi juga harus berkontribusi atau bermanfaat untuk pihak lain.

Jadi, saya masih memiliki banyak mimpi sosial yang belum tercapai. Untuk mimpi sosial, saya sedang membangun mimpi agar bisa membantu adik-adik angkatan saya kuliah dengan memberi beasiswa, membantu teman-teman yang anaknya kesulitan sekolah. Saya juga bermimpi agar bisa berkontribusi menggerakkan kalangan bawah, misalnya memberdayakan peternak kambing di Ciampea dan Garut selatan dengan sistem kewirausahaan. Saya bermimpi menciptakan sistem kewirausahaan yang ideal dengan lokasi di mana-mana. Saya sendiri tidak ambil keuntungan dari situ.
Filosofi hidup Anda?
Impian itu akan tercapai jika kita berusaha mewujudkannya. Dream will come true if you make it happen. Mimpi atau segala yang kita inginkan akan tecapai kalau kita berusaha mewujudkannya. Dan, yang bisa mewujudkan adalah diri kita sendiri. Yang Maha Kuasa telah memberikan semua yang terbaik kepada kita, tangan dan hati, segala macam hal yang terbaik.

Bentuk rasa syukur atas pemberian yang terbaik itu adalah mengoptimalkan yang kita miliki. Tangan untuk bekerja, otak untuk berpikir, jangan takut lelah bekerja karena besok juga bisa segar lagi. Bekerjalah seoptimal mungkin. Selain itu, berpikirlah positif dan bekerja keraslah untuk bermanfaat bagi banyak orang. Ini seperti yang diajarkan ibu saya.
Seberapa besar peran keluarga dalam bisnis Anda?
Sangat besar, saya punya istri yang luar biasa. Ketika saya mau membangun bisnis, ketika orang meragukan, istri saya adalah orang yang pertama memercayai saya bahwa bisnis yang akan saya lakukan akan berhasil. Istri saya sangat percaya apa pun yang saya lakukan, baik untuk dia maupun keluarga. Awal-awal mendirikan bisnis, penghasilan saya hanya tinggal 30 persen dari saat bekerja di tempat sebelumnya. Tetapi istri saya cukup tabah selama dua tahun untuk menurunkan kulitas hidupnya. (Tri Listiyarini/AB Investor Daily)

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.