[ads-post]

Bisnis Hobby - Dua mahasiswa iseng-iseng mengangkut sampah untuk mendapat uang jajan – namun  mereka justru berhasil membangun kerajaan bisnis. 

Ada teriakan khas para orang tua yang biasa didengar di hari kedua libur kuliah: “Kerja, dong!” Ibunda Omar Soliman termasuk di antaranya. Ia tak ingin melihat anaknya hanya berenang saja sepanjang musim panas. “Harus ada yang kau kerjakan,” ia menyuruh anaknya.  

Di tempat tinggalnya, Washington DC, teman-teman Soliman kebanyakan magang di tempat-tempat yang bergengsi. Tapi Soliman menyukai pesta. Tak terbayang di benaknya dia harus duduk di belakang meja sepanjang hari. Tapi dari pengalamannya selama bertahun-tahun membantu mengantarkan furnitur milik toko mebel ibunya, ia ingat banyak orang yang ingin membuang furnitur lama mereka. Kalau ia meminjam mobil van milik ibunya, tentu ia bisa mendapatkan uang untuk berfoya-foya dengan menawarkan jasa membuang furnitur lama tersebut. 

Malam itu, Soliman menemukan nama untuk bisnisnya sendiri: College Hunks Hauling Junk. Keesokan harinya, dia menyebar flyer, dan hanya dalam hitungan jam, teleponnya berdering. Dia meminta bantuan sahabatnya, Nick Friedman. Setelah tiga jam membersihkan barang-barang tak terpakai di garasi milik seorang wanita, mereka mendapatkan 220 dolar AS. 

Soliman dan Friedman mengantungi 10.000 dolar AS pada musim panas itu. Dan sekarang, hanya dalam waktu 4 tahun, bisnis mereka menjadi perusahaan nasional yang meraup untung 3 juta dolar AS pada 2008. College Hunks mempekerjakan 130 orang dan mempunyai 16 waralaba di 10 negara bagian dan Washington DC. Mereka mengangkut apa saja, mulai dari sofa rombeng sampai komputer kuno, dan menargetkan bisa mengembangkan 80 waralaba di 2012 nanti. “Orang-orang sangat senang dengan ide pengangkutan sampah yang dilakukan anak-anak muda yang bersih dan ramah,” kata Friedman.  

Namun keduanya belum siap menjadi tukang sampah penuh waktu setelah lulus kuliah. “Kami harus menyelesaikan kuliah dan mencari pekerjaan yang bagus,” kata Soliman yang kemudian bekerja sebagai tenaga pemasaran untuk sebuah lembaga riset. Sementara Friedman menjadi analis ekonomi untuk sebuah lembaga konsultan. Dalam beberapa bulan, kata Friedman, “Kami merasa kurang senang. Aku mengirim e-mail ke Omar: 'Kapan nih saat yang tepat untuk mulai berbisnis?' Dia menjawab: 'Sekarang.'” 

Mereka lalu keluar dari pekerjaan, tapi sulit menemukan bank yang mau memberi kredit. “Kami dinilai tidak layak mendapatkan kredit,” ujar Soliman. Setelah lima kali ditolak, akhirnya sebuah bank memberikan pinjaman 50.000 dolar AS. Mereka lalu menambahkan dengan 60.000 dolar AS dari orang tua dan tabungan mereka sendiri. Tak menunggu lama, mereka membeli sebuah truk, menyewa seniman grafis untuk mendesain logo, memuat iklan di koran dan radio, dan merekrut tenaga angkut dari kampus-kampus. Mengenakan seragam baru — kaos polo berwarna hijau dan khaki — mereka menggelar presentasi di pameran-pameran lokal, kantor-kantor kamar dagang dan real estat. 

“Pada awalnya, uang kami menyusut terus,” aku Friedman, “sebab kami mematok harga terlampau rendah.” Seorang pelanggan membayar mereka untuk membuang selusin tong sampah berisi puing-puing bangunan. Bukannya menghitung tarif berdasarkan berat barang-barang tersebut, mereka justru menghitung berdasarkan volume dan mematok harga hanya 130 dolar AS. “Barang-barang itu sangat berat, sehingga kami butuh waktu dua setengah jam untuk mengerjakannya,” kata Soliman. “Dan kami harus mengeluarkan 250 dolar AS untuk membuang muatan itu.”

Namun pengalaman mereka dengan tangan-tangan kekarnya mengajari tentang apa yang harus — dan tidak harus — dikerjakan. Untuk meringankan biaya sewa lahan pembuangan, mereka mendaur ulang logam dan barang elektronik, lalu menyumbangkan lebih dari 60 persen dari apa yang mereka dapatkan. Mereka menyewa tenaga konsultan untuk membantu mengembangkan waralaba berskala nasional, membeli nomor bebas pulsa, membuat situs (1800junkusa.com), dan mendirkan pusat informasi di Maryland. Tahun lalu, mereka memindahkannya ke Tampa, yang ongkos sewanya lebih murah. 

Sekarang, Soliman, 26, menjadi seorang perencana, dan Friedman, 27, menjadi tukang bongkar. Mereka membeli sebuah buku yang mendorong sepasang wiraswasta muda itu untuk berani mengambil risiko. “Aku tidak ngeh kalau aku adalah wiraswastawan sampai aku mulai menyetir mobil van,” aku Soliman. “Begitu juga Nick. Aku baru tahu kalau aku ingin melakukan sesuatu sendiri. Bagi kami, apabila gagal, lebih baik kami mencoba bangkit dari kegagalan itu daripada tidak mencoba sama sekali.(Rd)

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.